Biografi Sultan Abdul Hamid II
dan keruntuhan Khilafah Islamiyah
Palembang, 12 Agustus 2016
Repost : https://yunadha1881.wordpress.com/2012/08/26/mengenal-khilafah-terakhir-sultan-abdul-hamid-ii/
Islam pernah berjaya di benua Eropa.
Kejayaan Islam di kawasan ini ditandai dengan berkembangnya wilayah
kedaulatan Kesultanan Turki Usmani (Ottoman). Selama berabad-abad,
kerajaan Islam tersebut berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur,
Balkan, dan Mediterania. Namun, pada akhir abad ke-19 M, pengaruh itu
berangsur pudar.
Menjelang masa-masa kejatuhan
kekhilafahan Islam terakhir ini, muncul pemimpin Kesultanan Turki Usmani
yakni Sultan Abdul Hamid II. Dengan segala daya yang ada, ia mencoba
untuk terus mempertahankan tegaknya ajaran Islam di wilayah kekuasaannya
dari berbagai macam bahaya yang mengancam, khususnya kekuatan Barat dan
Yahudi.
Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul, Turki, pada Rabu, 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.
Dia adalah putra Abdul Majid dari istri kedua. Ibunya meninggal dunia
saat Abdul Hamid berusia tujuh tahun. Sultan Hamid II menguasai bahasa
Turki, Arab, dan Persia. Disamping juga ia dikenal senang membaca dan
bersyair.
Dia menjadi khalifah Turki Usmani
menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada 1876.
Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai
khalifah, kemudian dibunuh oleh musuh politik Kesultanan Turki Usmani.
Sang paman mewariskan negara dalam
kondisi yang carut-marut. Tunggakan utang luar negeri, parlemen yang
mandul, campur tangan asing di dalam negeri, tarik-menarik antarberbagai
kepentingan di dalam tubuh pemerintahan, serta birokrat-birokrat yang
korup.
Tak lama setelah naik takhta, dia
mendirikan Dewan Majelis Rendah. Anggota dewan ini ada yang dipilih dan
ada pula yang anggotanya ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Dewan yang
anggotanya dipilih dinamakan Dewan Mab’utsan, sedangkan dewan yang
anggotanya ditentukan oleh pemerintah namanya A’yan.
Dekat dengan ulama
Sebagai seorang pemimpin, Sultan Hamid II
dikenal dekat dengan ulama dan selalu menaati nasihat-nasihat mereka.
Dia menganggap semua rakyat sama di hadapan undang-undang, juga
memberikan kebebasan pers. Dia membuat peraturan wajib belajar kepada
semua rakyat.
Semasa memerintah, ia menghapus peraturan
yang memperbolehkan polisi untuk menyiksa tahanan dalam masa
investigasi dan menghapuskan peraturan pengambilan paksa tanah milik
rakyat dan kerja paksa. Dia juga menolak untuk memecat seorang hakim
tanpa alasan yang benar. Selain itu, dia juga memberantas korupsi dan
suap. Dia sangat serius dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan
syariat Islam.
Dalam hal kemaslahatan umat, Sultan Abdul
Hamid II mengajak umat untuk mendirikan sebuah universitas Islam. Ia
juga memerintahkan pendirian sekolah-sekolah, rumah-rumah dinas bagi
para dosen, akademi politik dan kesenian wanita, museum-museum,
perpustakaan-perpustakaan, sekolah kedokteran, rumah sakit spesialis
anak, perumahan bagi orang-orang yang tidak mampu, kantor pos pusat,
ruang-ruang pertemuan, beberapa organisasi petani dan buruh serta
pabrik-pabrik keramik. Selain itu, dia juga memasang pipa-pipa untuk
mengalirkan air minum.
Saat berkuasa, Sultan Abdul Hamid II juga
memerintahkan pembangunan jalur rel kereta api (KA) dari Damaskus ke
Madinah sepanjang 1.327 kilometer. Pembangunan rel KA ini membutuhkann
waktu selama tujuh tahun.
Akhir kekuasaan Ottoman
Abdul Hamid II mengemban amanah memimpin
sebuah daulah yang luasnya membentang dari timur dan barat. Ia
menghabiskan 30 tahun kekuasaannya sebagai khalifah dengan dikelilingi
konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam negeri. Sementara dari luar
negeri, ada perang, revolusi, dan ancaman disintegrasi serta tuntutan
berbagai perubahan yang senantiasa terjadi.
Saat berkuasa, dia terpaksa
menandatangani perjanjian Saint Stefanus, karena adanya tekanan dari
negara-negara Eropa. Dalam perjanjian tersebut, pemerintah Turki Usmani
harus memberikan kemerdekaan penuh kepada negara Rumania, Bulgaria, dan
Serbia. Dia juga berjanji akan menjaga dan melindungi orang-orang Arman
yang beragama Kristen dari serangan orang-orang Kurdi dan Syarkasi.
Sultan Hamid II juga berjanji
mempersempit batas-batas wilayah kekuasaan Turki Usmani agar tidak
memberikan kesempatan kepada orang-orang Kristen untuk melakukan
penyerangan terhadap Islam. Sementara itu, orang-orang Bulgaria berusaha
memengaruhi orang-orang Islam yang ada di Bulgaria, Serbia, dan
pegunungan Hitam untuk mengadakan pemberontakann terhadap kekhalifahan
Turki Usmani.
Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah
Kesultanan Turki Usmani, Sultan Abdul Hamid II melakukan berbagai upaya
untuk menyatukan umat Islam dan membantu mereka agar dapat melawan para
penjajah yang menjadi penguasa di negeri mereka sendiri.
Kemudian, dia mengubah beberapa keputusan
dalam perjanjian Berlin yang sangat merugikan dan sangat ia
khawatirkan, yang berisi tentang penggabungan Bosnia Herzegovina ke
dalam wilayah Austria. Dia juga berhasil mengalahkan pasukan Rusia dan
mengatasi pemberontakan.
Namun, dengan bantuan para Syekhul Islam
saat itu, para musuh Sang Sultan berusaha membujuk syekh untuk
menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari jabatannya pada 1909. Inilah salah
satu bentuk pengkudetaan terhadap jabatan sultan. Sultan Abdul Hamid II
terpaksa menerima keputusan tersebut. Kemudian, ia beserta seluruh
anggota keluarganya diasingkan ke Salonika, Yunani.
Pada1912, Sultan Abdul Hamid II
dipulangkan ke Istanbul dan diasingkan dalam penjara istana tua
Beylerbeyi. Akan tetapi, anak-anaknya dipisah-pisahkan, bercerai berai.
Beberapa di antara mereka dibuang ke Prancis, dan menjadi pengemis yang
hidup terlunta-lunta di emperan jalan.
Kondisi di pembuangan Salonika atau di
istana tua Beylerbeyi Istanbul sama saja bahkan lebih parah. Sultan
Abdul Hamid II menghembuskan napas terakhir dalam penjara Beylerbeyi
pada 10 Februari 1918.
Pembela Sejati Palestina
Masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II
dipenuhi dengan berbagai macam konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam
maupun luar negeri. Salah satunya adalah upaya-upaya sistematis yang
dilakukan kaum Yahudi untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di tanah
Palestina, yang pada masa dirinya berkuasa, wilayah itu merupakan
bagian dari wilayah kekhalifahan Turki Usmani.
Sebagaimana dikisahkan dalam buku
“Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II” karya Muhammad Harb, bahwa
berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk
menembus dinding Kesultanan Turki Usmani, agar mereka dapat memasuki
Palestina. Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan
permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal
di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan tegas.
Pemerintan Usmaniyyah memberitahukan
kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka
tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu
kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur
tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, si Bapak Yahudi
Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896
memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin
mendirikan gedung di Al-Quds. Permohonan itu dijawab Sultan dengan
penolakan.
“Sesungguhnya Daulah Usmani ini
adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu.
Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri,”
tegas Sultan. Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat
strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31
Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan
Khilafah Usmaniyyah.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi
akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan
pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di
sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada
petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan
mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya
menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk
menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan
yang disodorkan Hertzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus
untuk Sultan; membayar semua utang pemerintah Usmaniyyah yang mencapai
33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan
biaya 120 juta frank; memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga;
dan membangun Universitas Usmaniyyah di Palestina.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Bahkan,
Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya,
perdana menterinya, sambil mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar
jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun
sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu
adalah hak umat Islam.”
“Umat Islam telah berjihad demi
kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.
Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan
Turki Usmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil
Palestina tanpa membayar harganya.”
“Akan tetapi, sementara aku masih
hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat
tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan
memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan
Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan
menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya,
mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa
nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk
menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang
bertanggung jawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini, di Istanbul,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar