Jumat, 12 Agustus 2016

Biografi Herman William Daendels

Biografi Herman William Daendels


Palembang, 12 Agustus 2016
Repost :  https://sejarahsemarang.wordpress.com/zaman-belanda/herman-willem-daendels/


 Herman Willem Daendels (lahir di Hattem21 Oktober 1762 – meninggal di Ghana2 Mei 1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis.


Masa dewasa

Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat Jenderal dan pada tahun 1795 ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan pindah ke HeerdeGelderland.

Karier

Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland danGroningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jenderal.

Daendels di Hindia-Belanda

Maka setelah perjalanan yang panjang melalui Pulau Kanari, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun1807. Namun demikian beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia. Pada tahun 1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun 1806, armada kecil Inggris di bawah laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda, Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangunrumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos, sebenarnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.
 
 Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya. Jika di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IVmenerima ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja “mengkhianati” orang Belanda.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dariAnyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung. Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.
  Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, ‘s Gravenhage, 1814). Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi SumedangLimbanganCisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinaspos.
Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang oleh Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada Jan Willem Janssens, seperti diputuskan oleh Napoleon Bonaparte.Pemanggilan pulang ini dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka penyerbuan ke Rusia, Napoleon memerlukan seorang jenderal yang handal dan pilihannya jatuh kepada Daendels. Dalam korps tentara kebanggaan Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing (Legion Estranger) yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di antaranya adalah pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga divisi (kira-kira 30 ribu tentara). Tentara Wurtemberg ini sangat terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai bertempur tetapi sulit dikontrol karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada masa sebelum penaklukan oleh Perancis. Napoleon mempercayakan kesatuan ini kepada Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.
Ketika tiba di Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon di istana Tuiliries dengan permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1812.


Kembali ke Eropa

 Sekembali Daendels di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Perancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo danBelanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada Raja Willem I, tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap mantan Patriot dan tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun 1815 ia ditawari pekerjaan menjadi Gubernur-Jenderal di Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat malaria pada tanggal 8 Mei 1818.

Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808 – 1811)

Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.


H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan. Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.


Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda — alat pengangkut pos — yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
groote postweg di buat dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada penguasa pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan penduduk di wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg adalah sekitar 800 mil. Dalam jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126 stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian kuda-kuda pos, semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan yang didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban sekitar 10.000 orang. Dalam situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara, seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh biro urusan intelejen Inggris yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan jalan dan pembuatan pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan pemerintah kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara Inggris dan Prancis memberikan kesempatan baginya untuk memberontak apalagi pasukan Daendels dianggap belum cukup siap untuk menghadapi peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du Fuy dan menghabisi seluruh garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya itu, segera Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung. Kesultanan Banten berhasil dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di tahta kerajaan berujar, “akulah raja Banten”. Kesultanan Banten kemudian dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk menjadi residen di sana (Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan siapa yang duduk di tahta kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari gangguan karena sering adanya pemberontakan yang dibantu oleh Inggris.)


Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten, ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808, Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu, Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels menghadapi banyak persoalan. Perjalanan kepemimpinannya telah membangun tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun Pribumi. Beberapa suku yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang di pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan intelejen Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin memburuk. Blokade Inggris menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan. Bahkan untuk mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang kertas yang biasa digunakan di Prancis)sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahannya harus diimpor. Satu-satunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan pada penjualan barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan banyak lagi.), pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti. Contoh penjualan tanah seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di Probolinggo kepada saudara Han Chan Pit, Han Ki Ko.
Pada masa Daendels, ia memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden dan memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya, 130.000 guilders, ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana megah bagi dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual kembali ke pengusaha Cina dan istananya dijual kembali kepada pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W. Janssens, Daendels menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung 900.000 guilders. Pada 27 April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor jenderal Prancis, Jumel. Segera Daendels diganti dan dipulangkan. Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah disekitar Batavia dapat dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun Mangkunegara dibantu pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens menyerah di Salatiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar