. Di sana ia menyaksikan dari dekat
dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat
dengan
pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut
mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia
mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang
berakibat
buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai
pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun
. Ia memutuskan pindah ke
) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan
. Lalu setelah sukses, pada tanggal
Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang
strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels,
semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan
minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels
mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari
residen menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat
Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton
Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan
raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya. Jika di zaman VOC para
residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang
menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan
sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi
diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk sejajar dengan raja,
memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau
mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan
berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu
di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta
tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta
raja. Meskipun di
Surakarta Sunan Paku Buwono IVmenerima ketentuan ini, di
Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak
mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya
bersedia melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap
tidak terima terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika orang-orang
Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja “mengkhianati” orang Belanda.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama
masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di
Jawa tetapi tidak dilakukan dari
Anyer hingga
Panarukan. Jalan antara
Anyer dan
Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut het
Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju
Cisarua dan
seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di
Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang
sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak
melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya
Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk
meminta pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal
ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von
Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas
berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung.
Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja
upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam
jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang
dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu
gulden yang
disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar
dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan
tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli
1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan
itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus
diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels,
Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur
Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, ‘s Gravenhage, 1814).
Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi
para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi
mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati
harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan
diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen
VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan
dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah
sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan
Pekalongan hingga
Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa
Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan
Bagus Rangin di
Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya
melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari
Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di
Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels
banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis
tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris.
Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap
Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima
beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas
Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas
pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke
Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang
diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F.
Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa),
mereka menulis keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka terdapat
proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan
meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di
Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari
penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal
Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip
mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara
data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia
kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan
kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua
pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan
Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan
informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima
kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak
pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh
para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan
itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman
Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan
Cirebon dan
Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi
Sumedang,
Limbangan,
Cisarua dan
Sukabumi.
Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang
sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat
bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola
dalam dinas
pos.
Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat
birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi
korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang oleh
Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada
Jan Willem Janssens, seperti diputuskan oleh
Napoleon Bonaparte.Pemanggilan
pulang ini dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka
penyerbuan ke Rusia, Napoleon memerlukan seorang jenderal yang handal
dan pilihannya jatuh kepada Daendels. Dalam korps tentara kebanggaan
Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing (Legion Estranger)
yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di
antaranya adalah pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga
divisi (kira-kira 30 ribu tentara). Tentara Wurtemberg ini sangat
terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai bertempur tetapi sulit
dikontrol karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada masa
sebelum penaklukan oleh Perancis. Napoleon mempercayakan kesatuan ini
kepada Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.
Ketika tiba di
Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon di istana
Tuiliries dengan
permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan
Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni
1812.
Kembali ke Eropa
Sekembali Daendels di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Perancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo danBelanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada Raja Willem I,
tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap mantan Patriot dan
tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun 1815 ia ditawari pekerjaan menjadi Gubernur-Jenderal di Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat malaria pada tanggal 8 Mei 1818.
Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808 – 1811)
Di awal Januari 1795, Napoleon
menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V
melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris.
Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte,
di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi
serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama
serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku.
Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris.
Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan
Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan tahun 1803 dan Marshall
Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.
H.W. Daendels adalah seorang jendral
Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin perlawanan yang
gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari
ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak
itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797,
Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi
Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia
hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis
mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India dan Mesir. Secara
tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai
Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan
seorang gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer.
Untuk alasan itu, Napoleon tidak mempercayai pejabat Asiatic Council,
Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan sebagai gubernur
jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan melalui
Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York. Dengan kapal dagang
berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika
adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa.
Kedatangannya seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama
istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan untuk mengelabui blokade
kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung berhadapan
dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat
bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat
VOC. Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang
dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan
dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan. Herren XVII (dewan
beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai
gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan
kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah
kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan
Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari
pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan
angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di
Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di depan kantor
gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang
berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan
aturan bahwa pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan
menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak
dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat
keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat
panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para
pegawainya, ia membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup
mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia
menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan
menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan
budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam
organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka
mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam
dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari
lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan
Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps
tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial
menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi
senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.
Sebagai bagian dari proyek militernya,
Daendels juga membangun instalasi militer seperti pelabuhan militer di
Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari
Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang
diketahui oleh penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan
penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih mengutamakan penggunaan jalur
laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu memang telah
menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan oleh Francois
Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels
dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat
Bali. Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan
melakukan perjalanan ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam
bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam
kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, pembuatan jalan utama
Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar yang
dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas
pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk
mendarat dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu,
mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah paling
penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk
mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum
diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya
saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan
telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan
raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda —
alat pengangkut pos — yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah
selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar yang
sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
groote postweg di buat dalam
jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada penguasa
pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan
penduduk di wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg
adalah sekitar 800 mil. Dalam jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126
stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian kuda-kuda pos,
semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan
yang didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban
sekitar 10.000 orang. Dalam situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara,
seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh biro urusan intelejen Inggris
yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan
Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan jalan dan pembuatan
pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan
pemerintah kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara
Inggris dan Prancis memberikan kesempatan baginya untuk memberontak
apalagi pasukan Daendels dianggap belum cukup siap untuk menghadapi
peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du Fuy dan menghabisi seluruh
garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya itu,
segera Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung.
Kesultanan Banten berhasil dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di
tahta kerajaan berujar, “akulah raja Banten”. Kesultanan Banten kemudian
dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk menjadi residen di
sana (Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan
siapa yang duduk di tahta kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari
gangguan karena sering adanya pemberontakan yang dibantu oleh Inggris.)
Sebagai penganut jacobism,
Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten, ia
mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta
telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah
Daendels pada 1808, Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan
membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit serta
mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu,
Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan
pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari
Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat
mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan
Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra
mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan
Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels
menghadapi banyak persoalan. Perjalanan kepemimpinannya telah membangun
tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun Pribumi. Beberapa suku
yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang di
pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan
kegiatan intelejen Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak
biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin memburuk. Blokade Inggris
menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan. Bahkan untuk
mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang
kertas yang biasa digunakan di Prancis)sebagai pengganti mata uang
tembaga yang bahannya harus diimpor. Satu-satunya pemasukan yang
diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan pada penjualan barang,
tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan banyak
lagi.), pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti.
Contoh penjualan tanah seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan
Panarukan kepada Kapiten Cina di Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia
menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di Probolinggo kepada saudara
Han Chan Pit, Han Ki Ko.
Pada masa Daendels, ia memindahkan
ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden dan memindahkan tempat
tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya, 130.000 guilders,
ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana
megah bagi dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual
kembali ke pengusaha Cina dan istananya dijual kembali kepada
pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W. Janssens, Daendels
menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung 900.000 guilders.
Pada 27 April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor
jenderal Prancis, Jumel. Segera Daendels diganti dan dipulangkan.
Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris
muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah disekitar Batavia dapat
dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun Mangkunegara
dibantu pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens
menyerah di Salatiga.